RadarKriminal.id, Jakarta, 7 Mei 2025 – Dua perwakilan warga pesisir Manado Utara, seorang nelayan tradisional dan seorang perempuan pegiat wisata pantai, hadir sebagai saksi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dalam perkara gugatan terhadap izin reklamasi laut (PKKPRL) untuk PT Manado Utara Perkasa. Dalam kesaksian mereka, warga menegaskan: reklamasi akan merampas ruang hidup, menghancurkan ekosistem laut, dan memusnahkan tradisi maritim warga Manado Utara.
Warga Pesisir Bersuara di Sidang PKKPRL: Reklamasi Mengancam Hidup Kami
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta kembali menggelar sidang gugatan terhadap keputusan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) kepada PT Manado Utara Perkasa (PT. MUP), yang diterbitkan oleh Kementerian Investasi/BKPM atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan. Gugatan ini diajukan oleh KIARA dan WALHI dalam payung Tim Advokasi Penyelamatan Pesisir dan Pulau Kecil (TAPaK).
Dalam sidang pada 6 Mei 2025, dua saksi dari warga pesisir Manado Utara dihadirkan: seorang nelayan tradisional dari Kelurahan Bitung Karangria, dan seorang perempuan nelayan sekaligus penggerak wisata berbasis komunitas.
Saksi nelayan menggambarkan bagaimana wilayah yang akan direklamasi merupakan ruang tangkap utama yang setiap hari menyediakan ikan untuk dikonsumsi dan dijual. Reklamasi akan mengusir ikan dan menghancurkan tradisi penangkapan berbasis pengetahuan lokal. Ia juga mengungkapkan bahwa warga telah melakukan berbagai aksi penolakan, bahkan telah mengantongi rekomendasi DPRD untuk menghentikan reklamasi, namun tetap diabaikan.
Sementara itu, saksi kedua menyatakan reklamasi tak hanya mengancam ekosistem, tetapi juga membunuh inisiatif pendidikan lingkungan dan pariwisata lokal yang tumbuh di pesisir Bitung Karangria. “Kami bahkan tak pernah dilibatkan sejak awal. Kami tahu ada reklamasi setelah melihat papan proyek di pantai kami sendiri,” tegasnya.
Kuasa hukum TAPaK, Judianto Simanjuntak dan Mulya Sarmono, menekankan bahwa penerbitan izin PKKPRL ini cacat secara hukum dan etika, karena tidak melibatkan masyarakat terdampak serta mengabaikan asas kehati-hatian. “Reklamasi ini berisiko tinggi merusak terumbu karang yang vital bagi perlindungan dan keberlanjutan ekosistem pesisir,” tegas Mulya.
Susan Herawati dari KIARA menyimpulkan, “Tidak hanya ruang tangkap ikan yang terancam, tapi juga budaya, pendidikan, hingga ekonomi warga pesisir. Suara warga harus menjadi pertimbangan utama dalam setiap kebijakan ruang laut.”
Supriyadi