Jakarta — Penahanan Rina Rismala Soetarya, seorang ibu menyusui bersama bayinya yang masih berusia sembilan bulan di Polres Metro Jakarta Pusat, memicu gelombang kritik dan kecaman luas dari publik. Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, menyebut kasus ini sarat pelanggaran hukum dan nilai-nilai kemanusiaan.
Wilson menilai tindakan aparat sebagai bentuk kriminalisasi terhadap warga sipil dalam perkara yang sejatinya merupakan urusan perdata. “Ini jelas bentuk kriminalisasi. Urusan jual-beli mobil itu perdata, bukan pidana. Polisi telah menabrak aturan demi mempidanakan kasus yang seharusnya diselesaikan secara keperdataan,” tegas Wilson dalam keterangannya, Selasa, 19 Agustus 2025.
Panggilan Polisi Dinilai Tidak Masuk Akal
Kapolrestro Jakarta Pusat sebelumnya menyatakan bahwa pihaknya telah mengirimkan surat panggilan kepada Rina ke alamat rumahnya, namun disebut tidak ditemukan karena rumah kosong. Namun, menurut Wilson, pernyataan tersebut janggal. Ia menunjukkan bahwa surat panggilan bertanggal 1 Agustus 2025, padahal pada tanggal yang sama Rina telah berada di Polres Jakpus.
“Apakah rumah kosong bisa dijadikan alasan menjustifikasi seseorang telah berbuat pidana? Ini sungguh tidak masuk akal,” ujarnya mempertanyakan keabsahan proses pemanggilan tersebut.
Dibawa Paksa, Bukan Datang Sendiri
Polisi juga menyebut Rina datang sendiri ke Polres bersama pelapor, namun Wilson membantah keras klaim tersebut. Ia mengatakan bahwa Rina dan bayinya justru dibawa secara paksa oleh dua polisi yang dikawal oleh pelapor bernama Apiner Semu pada 1 Agustus 2025, jauh sebelum tanggal yang tertera dalam surat panggilan resmi.
Ibu dan Bayi Ditahan Bersama
Klarifikasi polisi yang menyatakan Rina hanya ditempatkan di ruang Kanit agar dapat memerah ASI juga dibantah oleh Wilson. Menurutnya, Rina dan bayinya ditahan bersama sejak Sabtu siang hingga dini hari Minggu pukul 02.00, bahkan kemungkinan hingga Minggu siang.
“Ini bentuk pelanggaran HAM serius. Tidak bisa dibenarkan secara hukum maupun kemanusiaan,” katanya.
Urusan Pribadi Diseret ke Ranah Hukum
Wilson juga mengkritik penyataan aparat yang menyebut status pernikahan Rina dan latar belakang suaminya sebagai bagian dari proses perkara.
“Itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan tuduhan hukum. Ini bentuk pembunuhan karakter,” tegasnya.
Rekayasa Klaim ‘Kabur’?
Menanggapi klaim polisi bahwa Rina sempat kabur dari tahanan, Wilson menyebutnya sebagai skenario yang direkayasa. “Saya terakhir berkomunikasi dengan Rina Sabtu malam pukul 22.25. Dia masih di ruang Kanit Reskrim. Polisi bilang dia kabur subuhnya. Ini tidak logis,” ujarnya. Ia menilai hal ini sebagai trik untuk membentuk delik pidana baru.
Tunggakan Utang Jadi Alasan Kriminalisasi
Dalam klarifikasinya, polisi juga menyebut Rina masih memiliki tanggungan utang Rp320 juta kepada pelapor. Wilson menyatakan bahwa informasi itu justru memperkuat bahwa kasus ini adalah ranah perdata, bukan pidana.
“Kalau memang ada sisa tanggungan, maka ini harusnya diselesaikan secara perdata di pengadilan, bukan dengan kriminalisasi,” tegasnya.
Tanggapan Soal Korban Lain
Polisi juga menyebut ada korban lain dari kasus yang melibatkan Rina, meski belum melapor. Bagi Wilson, pernyataan seperti ini sangat tidak pantas dan terkesan asal-asalan.
“Kapolres seharusnya berbicara berdasarkan fakta hukum, bukan asumsi atau gosip yang memfitnah warga,” katanya.
Murni Demi Keadilan
Wilson menegaskan keterlibatannya dalam mengawal kasus ini tidak dilandasi kepentingan pribadi, melainkan karena kepedulian terhadap keadilan hukum. Ia juga menyebut bahwa ini bukan kali pertama Polres Jakpus mempidanakan perkara perdata yang dinilainya berbau kepentingan.
“Ini sudah kedua kalinya saya temukan di Polres Jakpus. Keadilan seharusnya tidak bisa dibeli,” pungkasnya.