RadarKriminal.id, Jawa Tengah – Di daerah Wono Giri, Jawa Tengah, terdapat kasus serius yang melibatkan seorang ayah tiri berinisial N serta seorang pengacara berinisial JM, di mana mereka diduga telah melakukan serangkaian tindakan kriminal terhadap seorang anak di bawah umur berinisial AL serta saudaranya. Kasus ini melibatkan dugaan tindak pidana pencabulan, perampasan aset, hingga penculikan. Ironisnya, hingga kini belum ada tindak lanjut dari pihak kepolisian setempat, termasuk dari unit Reskrim dan PPA yang seharusnya berperan aktif dalam penanganan kasus ini.
*Unsur-Unsur Pidana Terkait dan Dasar Hukum*
1. *Pencabulan Terhadap Anak di Bawah Umur*:
– Tindakan asusila yang dilakukan oleh pelaku N dapat dikenakan pasal 81 dan 82 UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Pasal 81 mengatur tentang setiap orang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak untuk melakukan persetubuhan, dengan ancaman hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun, serta denda maksimal Rp 5 miliar.
2. *Pemaksaan dan Kekerasan*:
– Pasal 76C UU Nomor 17 Tahun 2016 juga melarang setiap orang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap anak. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 80 UU Perlindungan Anak, di mana pelanggar dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 3 tahun 6 bulan dan/atau denda maksimal Rp 72 juta.
3. *Perampasan Aset*:
– Perampasan aset dapat dikenakan Pasal 368 KUHP tentang pemerasan, di mana pelaku yang memaksa orang lain untuk menyerahkan barang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan bisa dihukum penjara paling lama 9 tahun.
4. *Penculikan*:
– Penculikan yang dilakukan oleh pelaku N dan JM dapat dikenakan Pasal 330 KUHP yang mengatur tentang penculikan anak di bawah umur, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 7 tahun.
*Hasil Investigasi M. Ridho dari Dewan Perwakilan Pusat FRJRI*
M. Ridho, anggota Dewan Perwakilan Pusat Forum Jurnalis dan Reporter Indonesia (FRJRI), menemukan bahwa keterlambatan dan tidak adanya tindak lanjut dari aparat penegak hukum setempat tidak hanya disebabkan oleh ketidakpedulian, tetapi juga karena adanya dugaan kolusi antara pelaku dengan oknum aparat. Berdasarkan wawancara dengan beberapa sumber terpercaya, diketahui bahwa ada upaya dari pihak tertentu untuk “meredam” kasus ini agar tidak mencuat ke publik, yang mengakibatkan penanganan kasus menjadi terhambat.
Selain itu, M. Ridho mengungkapkan bahwa pihak kepolisian bahkan tidak memberikan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) kepada korban atau keluarganya. Tindakan ini melanggar Pasal 10 Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, yang mewajibkan penyidik untuk memberikan SP2HP secara berkala kepada pelapor atau korban. Dengan tidak diberikannya SP2HP, korban dan keluarganya menjadi semakin sulit untuk mengetahui perkembangan kasus, yang menambah beban psikologis dan ketidakpastian.
Ridho juga menyoroti kurangnya transparansi dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh Reskrim dan PPA. Banyak informasi yang seharusnya menjadi hak korban dan keluarganya justru tidak diberikan, menambah beban psikologis dan ketidakpastian bagi korban. Ridho mendesak agar Kapolres Wonong Giri segera mengambil tindakan tegas dan transparan dalam menangani kasus ini demi keadilan bagi korban.
*Atensi Wakapolda Jateng, Brigjen Pol Agus Suryonugroho*
Kasus ini kini telah mendapat atensi khusus dari Wakapolda Jawa Tengah, Brigjen Pol Agus Suryonugroho, yang menyoroti langsung peran Kapolres Wonong Giri, Kasat Reskrim, dan Kanit PPA dalam penanganan kasus ini. Brigjen Agus Suryonugroho menekankan pentingnya profesionalisme dan ketegasan dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan kekerasan terhadap anak, serta memastikan bahwa seluruh prosedur hukum dijalankan dengan transparan dan tanpa intervensi dari pihak manapun.
Atensi ini memberikan tekanan tambahan pada aparat setempat untuk segera menindaklanjuti laporan korban dan memastikan bahwa keadilan dapat ditegakkan. Brigjen Agus juga menyatakan bahwa setiap kelalaian atau penyimpangan dalam penanganan kasus ini akan mendapat sanksi tegas sesuai dengan aturan yang berlaku.
*Tidak Ada Tindak Lanjut dari Aparat*
Yang menjadi sorotan adalah lambannya atau bahkan tidak adanya tindak lanjut dari pihak kepolisian setempat, khususnya dari Kapolres Wonong Giri, unit Reskrim, dan unit PPA yang semestinya memprioritaskan penanganan kasus kekerasan terhadap anak. Hal ini tentunya menambah trauma dan penderitaan korban serta keluarganya.
Keterlambatan ini juga berpotensi menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat tentang integritas dan komitmen aparat penegak hukum dalam melindungi hak-hak anak serta menegakkan keadilan. M. Ridho menegaskan bahwa langkah cepat dan tegas diperlukan untuk memastikan bahwa pelaku kejahatan tidak dibiarkan bebas, dan hak-hak korban dapat dilindungi sepenuhnya.